Jumat, 24 Agustus 2012

Pengiwa Penengen

Kata kiwa adalah bahasa Jawa Kuno yang artinya kiri; kiwan; sebelah kiri, Ngiwa = Nyalanang aji wegig (menjalankan aliran kiri), seperti ; pengeleakan penestian, Menggal Ngiwa = nyemak (melaksanakan) gegaen dadua (pekerjaan kiri dan kanan). Pengertian Kiwa dan Tengen artinya ilmu hitam dan ilmu putih, Ilmu Hitam disebut juga ilmu pengeleakan, tergolong aji wegig. Aji berarti ilmu, Wegig berarti begig yaitu suatu sifat yang suka mengganggu orang lain. Karena sifatnya negatif, maka ilmu itu sering disebut “ngiwa”.Ngiwa berarti melakukan perbuatan kiwa alias kiri. Ilmu leak ini bisa dipelajari dari lontar-lontar yang memuat serangkaian ilmu hitam, antara lain; Cabraberag, Sampian Emas, Tangting Mas, Jung Biru. Buku tersebut ditulis pada zaman Erlangga, yaitu pada masa Calonarang masih hidup. Disamping itu ilmu leak mempunyai tingkatan. Tingkatan leak paling tinggi menjadi bade (menara pengusung jenasah), di bawahnya menjadi garuda, dan lebih bawah lagi binatang-binatang lain, seperti monyet, anjing ayam putih, kambing, babi betina dan lain-lain. Ilmu putih sangat bertentangan dengan ilmu hitam. Ilmu putih sebagai lawannya, yang disebut pula ilmu penangkal leak yang bisa dipakai untuk memyembuhkan orang sakit karena diganggu leak, sebab aji usadha berhaluan kanan, disebut haluan “tengen” berarti kanan. Ilmu putih ini mengandung ilmu “kediatmika”. Berbicara pengiwa yang direalisasikan oleh Rangda (Janda) ring Dirah melawan Mpu Beradah, pada zaman pemerintahan Prabhu Erlangga. Naskah ini disalin dalam huruf Bali pada pemerintahan Raja Klungkung, kurang lebih sinopsis isinya sebagai berikut : Seorang raja yang bernama Sri Aji Erlangga, yang berstana di Kerajaan Kediri. Dalam pemerintahannya masyarakat menjadi makmur dan sejahtera, sehingga banyak negara-negara lain yang menyatukan diri dengan Beliau. Dalam wilayah Kerajaan terdapat sebuah perguruan, yang mengajarkan untuk kehancuran kerajaan. Karena menerapkan ajaran Sad Atatayi. Berbuat ulah untuk kematian dunia, berbuat Sad Atatayi dan bermurid mendirikan perguruan, menjadi sarana untuk memuja siwa, diberi anugrah oleh Hyang Bagawati. Para menteri dan patih mencari bantuan kepala Mpu Beradah, kemudian Mpu Beradah menugaskan kepada muridnya yang bernama Mpu Bahula yang masih muda dan perparas rupawan untuk menyelidiki keberadaan di Dirah dengan melangsungkan perkawinan dengan anak janda di Dirah. Setelah setengah bulan lamanya Pendeta menginap di Jirah (Dirah), maka datanglah Janda Jirah, memohon kepada Mpu Beradah agar merubah dirinya menjadi brahmana, karena telah banyak membunuh orang tanpa dosa. Mpu Beradah tidak bersedia meruwat sebab sastra utama menyebutkan perbuatan itu harus diterima oleh pelakunya melalui pembersihan Upeti, Stiti dan Pralina. Janda Jirah menjadi marah, bahwa dia tidak memerlukan sastra untuk peleburan dosa sehingga memutuskan untuk mengadu kesaktian dengan Mpu Bradah.
Akhirnya mereka berdua mengadu kewisesan di kuburan. Rangdeng Dirah menuding dengan mata melotot, muncul api berkobar, taring bergesek tajam. Hidung dan mulutnya besar menganga, lidah menjulur keluar api berkobar, “Lihatlah sekarang Baradah, ada pohon beringin besar, aku bakar menjadi abu, menunduk melihat tanah, tanah menjadi bubur, terbang berhamburan bagaikan hujan pasir, dilihat sampai di lautan, bagaikan bergoncang, kacau berganti-ganti. Lagi dilihatnya gunung lahar dengan hujan batu, binatang menjadi terbirit-birit ke sana kemari, kayunya roboh saling tindih, satu dengan yang lainnya, bumi menjadi gemetar”. “sekarang apa keinginanmu hai Baradah, sungguh berani tidak mengalah”. Rangdeng Dirah kemudian membakar tubuh Mpu Baradah dengan api yang keluar dari mulutnya, namun tak mempan. Dua tiga kali dibakar tetap kokoh. Kemudian Mpu Baradah segera melakukan yoga kemudian menghidupkan kembali pohon beringin yang tadinya telah hancur terbakar. “Lihat sekarang olehmu dengan waspada hai Janda ! Ini menunjukkan tugas yang diemban oleh Mpu Baradah berhasil mengalahkan Rangda Ring Dirah. Artinya Ilmu Pengiwa akan selalu dikalahkan oleh Ilmu Penengen. Sabuk Kekebalan Dalam kemajuan teknologi yang berkembang pesat saat ini ternyata di masyarakat masih mejadi trend penggunaan alat-alat kekebalan dalam berbagai bentuk baik yang dipakai maupun yang masuk dalam tubuhnya. Adapun fungsi dari alat tersebut untuk menambah kepercayaan diri agar merasa lebih mampu dibandingkan dengan yang lainnya. Harus disadari fungsi dari alat ini bagaikan pisau bermata dua. Kalau tujuanya untuk kepentingan umum dalam hal menolong masyarakat tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah jika alat itu digunakan untuk pamer dan menguji orang lain, ini yang sangat riskan. Karena setiap alat yang kita pakai memiliki kadar tersendiri, tergantung dari sang pembuatnya. Karena ini berhubungan dengan kekuatan niskala yang berupa panengen dan pengiwa. Atau dalam istilah lainnya mengandung kekuatan pancaksara maupun dasaksara. Tidak sembarang orang bisa membuat alat seperti ini apalagi memasangnya karena berhubungan dengan pengraksa jiwa. Kalau berupa sesabukan (tali pinggang) menggunakan bahan-bahan tersendiri, berupa biji-bijian seperti kuningan, timah, perak, bahan panca datu. Ditambah sarana yang lainnya sebagai persyaratannya. Untuk menghidupkan ini perlu mantra pasupati biar benda tersebut menjadi hidup. Disinilah kekuatan penengen dan pengiwa berjalan sebagai satu kesatuan yang menjadi kekuatan panca dhurga. Kalau sabuk pengeleakan lagi berbeda, di sini kekuatan pengiwa murni dipakai, sehingga yang memakainya akan memasuki dunia lain, tanpa disadari ia akan berubah secara sikap. Dan kita diolah oleh alat itu tanpa disadari kita menjadi kehilangan kontrol. Ini yang sangat berbahaya, jika tidak segera ditolong ia akan terjerumus, disinilah kekuatan penengen akan berjalan sebagai penetralisir. Di sinilah perlunya kita pemahaman apa itu penengen dan pengiwa jangan sepengal-sepenggal. Kalau yang memasukan dalam tubuh juga hampir sama prosesnya dengan yang memakai alat, yang menjadi perbedaan adalah kalau yang memakai alat berada di luar tubuh dan yang memasukan berada di dalam tubuh, inipun prosesnya tidak gampang perlu orang yang tahu untuk memasangnya, memang tubuh menjadi kebal tapi perlu proses. Tidak langsung jadi. Disinilah kejelian seorang senior terhadap yuniornya apakah sudah siap secara mental atau tidak. Kalau sudah siap secara mental maka akan cepat benda itu bereaksi dan bisa dikontrol oleh dirinya sendiri, jika tidak akan sebaliknya akan membahayakan dirinya sendiri. Karena alat-alat yang dipasang akan menjadi energi. Di sinilah muncul keegoissan kita jika sudah merasa hebat seolah-olah kita yang paling unggul di antara orang lain, padahal kita tahu ilmu seperti ini sangat banyak. Pengendalian diri sangat penting untuk membawa hal yang positif bagi kita sendiri, jangan terjebak oleh keinginan sesaat. Tapi sebaiknya kita gunakan alat-alat itu untuk kepentingan yang lebih baik seperti untuk jaga diri.

Rabu, 29 Februari 2012

barong dan rangda di bali


Barong dan Rangda, identik dengan simbol kebaikan dan kebatilan.  Barong adalah perlambang suatu kekuatan baik dan positif serta Rangda adalah simbol kebatilan, negatif dan kejahatan. Dalam kehidupan orang Bali dikenal adanya Rwa Bhineda, dimana suatu keseimbangan diperoleh karena adanya dua unsur yang saling menyeimbangkan yaitu kekuatan positif dan negatif. Jika salah satu unsur itu tiada maka keseimbangan alam akan terganggu. Barong adalah karakter dalam mitologi bali. Ia adalah raja dari roh-roh serta melambangkan kebaikan. Ia merupakan musuh Rangda dalam mitologi Bali. Banaspatirajah adalah roh yang mendampingi seorang anak dalam hidupnya. Banas Pati Rajah dipercayai sebagai roh yang menggerakkan Barong. Sebagai roh pelindung, Barong sering ditampilkan sebagai seekor singa. Tarian tradisional di Bali yang menggambarkan pertempuran antara Barong dan Rangda sangatlah terkenal dan sering diperlihatkan sebagai atraksi wisata.
Barong singa adalah salah satu dari lima bentuk Barong. Di pulau Bali setiap bagian pulau Bali mempunyai roh pelindung untuk tanah dan hutannya masing-masing. Setiap Barong dari yang mewakili daerah tertentu digambarkan sebagai hewan yang berbeda. Ada babi hutan, harimau, ular atau naga, dan singa. Bentuk Barong sebagai singa sangatlah populer dan berasal dari Gianyar. Di sini terletak Ubud, yang merupakan tempat pariwisata yang terkenal. Dalam Calonarong atau tari-tarian Bali, Barong menggunakan ilmu gaibnya untuk mengalahkan Rangda.
Topeng Barong dibuat dari kayu yang diambil dari tempat-tempat angker seperti kuburan, oleh sebab itu Barong merupakan benda sakral yang sangat disucikan oleh masyarakat Hindu di Bali. Pertunjukan tari ini dengan atau tanpa lakon, selalu diawali dengan pertunjukan pembuka, yang diiringi dengan gamelan yang berbeda-beda seperti Gamelan Gong Kebyar, Gamelan Bebarongan, dan Gamelan Batel. Jenis-jenis Barong yang hingga kini masih ada di Bali adalah sebagai berikut : Barong Ket, Barong Bangkal, Barong Asu, Barong Brutuk, Barong Kedingkling, Barong Gagombarangan, Barong Gajah, Barong Macan, Barong Landung, Barong Lembu, Barong Kambing, Barong Sai.
Menurut etimologinya, kata Rangda yang kita kenal di Bali berasal dari Bahasa Jawa Kuno yaitu dari kata Randa yang berarti janda (L. Mardiwarsito, 1986:463). Rangda adalah sebutan janda dari golongan Tri Wangsa yaitu, Wesya, Ksatria dan Brahmana.
Sedangkan dari golongan Sudra disebut Balu. Kata Balu dalam bahasa Bali alusnya adalah Rangda. Perkembangan selanjutnya istilah Rangda untuk janda semakin jarang kita dengar, karena dikhawatirkan menimbulkan kesan tidak enak mengingat wujud Rangda yang ‘aeng’ (seram) dan menakutkan serta identik dengan orang yang mempunyai ilmu kiri (pengiwa).
Hal ini terutama kita dapatkan dalam pertunjukan-pertunjukan cerita rakyat. Dengan kata lain, ada kesan rasa takut, tersinggung dan malu bila dikatakan bisa neluh nerangjana (ngeleak).
Sesungguhnya pengertian di atas lebih banyak diilhami cerita-cerita rakyat yang di dalamnya terdapat unsur Rangda. Cerita yang paling besar pengaruhnya adalah Calonarang.
Ada juga cerita yang lain, namun itu hanyalah kreasi para seniman seperti: Lakin Kunti Srya, Nang Aprak, Celedu Nginyah, Men Muntregan, Balian Batur, Campur Taluh (Talo) dan Kaki Tua. Juga cerita-cerita mythologi dan sejarah seperti Kalikek, Jayapati dan Sudarsana.

Jenis-jenis Rangda

Mengidentifikasi jenis-jenis Rangda yang berkembang di Bali amat sulit. Hal ini mengingat wujud Rangda pada umumnya adalah sama. Memang dalam cerita Calonarang ada wujud Rangda yang lain seperti Rarung, Celuluk namun itu adalah antek-antek dari Si Calonarang dan kedudukannya lebih banyak dalam cerita-cerita bukan disakralkan. Untuk membedakan wujud Rangda adalah dengan melihat bentuk mukanya (prerai), yaitu :
Bentuk Nyinga
Apabila bentuk muka Rangda itu menyerupai singa dan sedikit menonjol ke depan (munju). Sifat dari Rangda ini adalah galak dan buas.
Bentuk Nyeleme
Apabila bentuk muka Rangda itu menyerupai wajah manusia dan sedikit melebar (lumbeng). Bentuk Rangda seperti ini, menunjukkan sifat yang berwibawa dan angker.
Bentuk Raksasa Apabila bentuk muka Rangda ini menyerupai wujud raksasa seperti yang umum kita lihat Rangda pada umumnya. Biasanya Rangda ini menyeramkan.
sumber: wikipedia, babad bali

Selasa, 07 Februari 2012

Prosesi Ngereh

Sakralisasi Barong dan Rangda - Tari Bali

Tidak setiap benda berwujud seperti Barong dan Rangda dapat disebut Barong dan Rangda. Hal ini berkaitan dengan ada tidaknya proses sakralisasi melalui upacara. Apabila rangkaian ini tidak ada, dapat saja Barong dan Rangda disebut barong-barongan dan rangda-rangdaan (barong dan rangda imitasi). Proses sakralisasi ini penting karena perwujudan Barong dan Rangda akan menampakkan nilai magisnya sehingga masyarakat merasa dekat secara spiritual.

Walaupun topeng berserta perhiasan / asesoris sudah dipasang, tidak akan dapat memiliki daya magis sebelum mendapatkan upacara Utpeti (penyucian). Proses penyucian ini dilakukan dalam beberapa tingkatan yaitu:

Tingkatan Prayascita dan Mlaspas.
Tingkatan Ngatep dan Pasupati.
Tingkatan Masuci dan Ngerehin.
Dengan ketiga rangkaian upacara tersebut maka barong dan rangda dapat dikatakan telah suci, keramat, mengandung nilai majis yang beraspek relegius serta berhak menyandang gelar sebagai aspek kekuatan Tuhan dan menjadi objek keagamaan dalam memantapkan nilai rasa bakti umat.

Sebelum ketiga tingkatan upacara di atas dilaksanakan, terlebih dahulu dilaksanakan beberapa kegiatan yaitu :

Menentukan hari baik pembuatan Barong dan Rangda sehingga menjadi barang sakral sangat ditentukan oleh penentuan hari yang baik.
Menentukan jenis kayu yang akan digunakan untuk pembuatan topeng Barong dan Rangda. Umumnya kayu yang digunakan adalah kayu yang diyakini mempunyai kekuatan magis.
Pemberian warna. Pemberian warna pada sebuah topeng Barong dan Rangda merupakan suatu hal yang penting karena dengan warna yang baik serta cocok akan memberikan kesan hidup serta berwibawa serta agung.
Membuat kerangka Barong dan Rangda.
Pemasangan bulu dan asesoris lainnya.